A. Pengertian Pendidikan Inklusif
Definisi Pendidikan Inklusif yang dirumuskan dalam Seminar
Agra, India pada tahun 1998 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23
negara merumusakan poin-poin sebagai berikut.
- lebih
luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat,
sistem nonformal dan informal.
- mengakui
bahwa semua anak dapat belajar.
- memungkinkan
struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak.
- mengakui
dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik,
bahasa, status HIV/AIDS dll.
- merupakan
proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya.
- merupakan
bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang
inklusif.
Definisi berikutnya, Sapon-Shevin dan O’Neil, 1994 (Dir.
Pem. SLB, 2007:5) menyatakan bahwa ‘pendidikan inklusif adalah sistem layanan
pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di
sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya’.
B. Landasan Filosofis Pendidikan Inklusif
Abdulrahman dalam
Kemdikbud (2011) mengemukakan bahwa landasan filosofis penerapan pendidikan inklusif di
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita–cita
yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yaitu Bhineka Tunggal
Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan
vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di
muka bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan
fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan
sebagainya, sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku
bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik,
dan sebagainya. Walaupun beragam namun dengan kesamaan misi yang diemban di
bumi ini, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi
dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi
Bhineka Tunggal Ika, keberagaman termasuk di dalamnya anak berkebutuhan khusus
merupakan salah satu bentuk kebhinekaan, seperti halnya perbedaan suku, ras,
bahasa, budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkebutuhan khusus pastilah
dapat ditemukan keunggulan–keunggulan tertentu. Kelemahan dan keunggulan tidak
memisahkan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, seperti halnya
perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama, tetap dalam kesatuan. Hal ini harus
terus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan
terjadinya pergaulan dan interaksi antar peserta didik yang beragam, sehingga
mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat
toleransi yang nampak atau dicita–citakan dalam kehidupan sehari–hari.
C. Landasan Yuridis Pendidikan Inklusif
Landasan yuridis tentang
pendidikan inklusif memberikan kerangka dasar bahwa
implementasi pendidikan inklusif memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan.
Implementasi pendidikan inklusif di Indonesia, memiliki dasar hukum atau
yuridis yang terkait.
Dalam Undang-Undang Dasar
Amandemen 1945, Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan”, dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang
sama, bahwa “’Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak,
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, padal Pasal
48, menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar
minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak”. Kemudian pada Pasal 48 dari
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa “’Negara, Pemerintah,
Keluarga, dan Orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
anak untuk memperoleh pendidikan”.
Dalam konteks pendidikan
nasional, penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki dasar hukum yang jelas.
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) “Setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Ayat (2):
“Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Dalam hal aksesibilitas
pendidikan, dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) “Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi”. Pasal 32 ayat (1) ”Pendidikan khusus merupakan pendidikan
bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”. Dalam penjelasan Pasal 15
alinea terakhir dijelaskan bahwa ”Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau
berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar
dan menengah”. Pasal 45 ayat (1) ”Setiap satuan pendidikan formal dan non
formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.
Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2008 tentang
Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, “Pendidikan inklusif
adalah pendidikan yang memberikan kesempatan bagi peserta didik berkebutuhan
khusus karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk belajar bersama-sama
dengan peserta didik lain pada satuan pendidikan umum maupun kejuruan, dengan
cara menyediakan sarana, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan kurikulum
yang disesuaikan dengan kebutuhan individual peserta didik.”
Dalam penjelasan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas, “Yang dimaksud dengan ‘pendidikan secara inklusif’
adalah pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas untuk belajar
bersama dengan peserta didik bukan Penyandang Disabilitas di sekolah reguler
atau perguruan tinggi.
D. Landasan Empiris Pendidikan Inklusif
Terkait dengan landasan empiris, hasil penelitian
menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan peserta didik berkebutuhan khusus
di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif, peneliti
merekomendasikan pendidikan khusus secara segregatif hanya
diberikan secara terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller,
Holtzman dan Messick, 1982). Hasil metaanalisis yang dilakukan oleh Carlberg
dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986)
terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap
perkembangan akademik maupun sosial anak berkebutuhan khusus dan teman
sebayanya.
Selain itu, Depdiknas (2007) mengemukakan bahwa penyelenggaraan pendidikan
inklusif mendapatkan dukungan dari berbagai event atau moment,
baik internasional maupun nasional. Diantaranya adalah sebagai berikut:
- Deklarasi
Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights), Tahun 1948
- Konvensi
Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), Tahun 1989
- Konferensi
Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (World Conference on Education for
All) Tahun 1990
- Resolusi
PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang
Berkelainan (The Standard Rules on The Equalization of Opportunities
for Persons with Disabilities)
- Pernyataan
Salamanca tentang Pendidikan Inklusi (The Salamanca Statement on
Inclusive Education) Tahun 1994
- Komitmen
Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua (The Dakar Commitment on
Education for All) Tahun 2000
- Deklarasi
Bandung Tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju
pendidikan inklusi”
- Rekomendasi
Bukittinggi Tahun 2005, menyatakan bahwa pendidikan inklusif dan ramah
terhadap anak semestinya dipandang sebagai:
1. Sebuah pendekatan
terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin
bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk
semua;
2. Sebuah cara untuk
menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang
berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari
program-program untuk perkembangan anak usia dini, pra sekolah, pendidikan
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
3. Sebuah kontribusi
terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan
individu semua warga negara.
E. Prinsip Pendidikan Inklusif
Konsep yang paling mendasar dalam pendidikan inklusif adalah bagaimana agar
anak dapat belajar bersama, belajar untuk dapat hidup bersama dijabarkan
dalam tiga prinsip, yaitu:
- Setiap
anak, termasuk dalam komunitas kelas atau kelompok.
- Hari
sekolah diatur sepenuhnya melalui tugas-tugas pembelajaran kooperatif
dengan perbedaan pendidikan dan kefleksibelan dalam memilih dengan sepuas
hati.
- Guru
bekerjasama dan mendapat pengetahuan pendidikan umum, khusus dan teknik
belajar individu serta keperluan-keperluan pelatihan dan bagaimana
mengapresiasikan keanekaragaman dan perbedaan individu dalam
pengorganisasian kelas.
Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi
fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya.
Ini seyogyanya mencakup anak berkelainan dan anak berbakat, anak jalanan dan
anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari
kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah
atau kelompok lain yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).
Prinsip Pendidikan Inklusif
Lynch, sebagaimana disebutkan oleh Budiyanto dalam Hermansyah (2013)
mengajukan tujuh prinsip menuju terwujudnya UPE (Universal Primary
Education). Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
- Perkembangan
Kebijakan, Kerangka Hukum dan Sistem Kelembagaan
- Komitmen
pada Filsafat Pendidikan yang Berpusat Pada Anak (Child- Centered).
- Penekanan
pada Keberhasilan dan Peningkatan Kualitas.
- Memperkuat
Hubungan Antara Sistem Reguler dan Sistem Khusus.
- Komitmen
untuk Berbagi Tanggung Jawab dalam Masyarakat.
- Pengakuan
oleh Para Profesional Tentang Keragaman yang Lebih Besar.
- Komitmen
terhadap pendekatan yang holistik Prinsip holistik dan pendekatan
perkembangan pada pendidikan berhubungan dengan konsep community
shared responsibility.
F. Prinsip Pendidikan Inklusif
Dalam upaya menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif di sekolah
inklusif, Depdiknas (2007) telah merumuskan prinsip-prinsip
pembelajaran di sekolah inklusif, yakni sebagai berikut:
- Prinsip
motivasi; guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar
tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan
belajar- mengajar.
- Prinsip
latar atau konteks; guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan
contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan
semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran
yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.
- Prinsip
hubungan sosial; dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan
strategi pembelajaran mengoptimalkan interaksi antara guru dengan
siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta
interaksi banyak arah.
- Prinsip
individualisasi; guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik
setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun
ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun
kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan
pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang
sesuai.
Sekolah seyogyanya mengakomodasikan semua anak tanpa memandang kondisi
fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik, ataupun kondisi-kondisi lainnya.
Ini seyogyanya mencakup juga anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak
dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik,
etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain
yang tak beruntung (UNESCO, dalam Hermansyah, 2013).